Pages

Hari Anti Korupsi : Stop Korupsi Bantuan Bencana


Pagi ini, 9 Desember 2010 sejumlah pagiat dari Disaster Accountability Monitoring (disingkat DAM) menggelar kampanye anto korupsi di Bundaran HI. Aksi yang diikuti oleh seratusan pemuda dari Jogja dan Jakarta ini mengangkat isu anti korupsi dana bencana. Maklumlah seringkali kita mendengar tokoh dan pejabat publik harus mendekam di penjara pasca penanganan bencana karena dakwaan korupsi.

Kampanye yang sempat diliput media TV dan sejumlah media cetak dan online ini disertai dengan happening art berupa gunungan yang dibawa 4 orang bagaikan korban bencana bertuliskan "Stop Korupsi Bantuan Bencana". Budiyanto, SH Koordinator DAM selaku pemimpin aksi menjelaskan bahwa ini adalah aksi keprihatinan DAM atas adanya praktek korupsi di masa lalu dan berharap korupsi dana bencana tidak terjadi lagi. Aktifis muda anto korupsi yang mentan Persiden BEM UGM dan sempat menjadi Koordinator BEM seluruh Indonesia ini juga menyatakan kesiapan DAM untuk meneliti dan melaporkan kasus korupsi yang terjadi selama penanganan bencana oleh pemereinat pusat maupun daerah, perusahaan media yang menghjimpun dana juga NGO yang nakal.

Budiyanto, berharap semua pihak yang menangani program kebencanaan mentaati azas akuntabilitas dan transparans dalam penanganan kebencanaan. untuk itu Budiyanto meminta masyarakat selain memberi sumbangan juga kritis atas dana yang dikelola lembaga. DAM juga segera menggelar diskusi publil tentang isu yang sama di Jakarta dan Yogyakarja.

Budiyanto, SH : Jangan Coba Korupsi Dana Bencana


Tokoh muda anti korupsi asal Yogyakarta, Budiyanto, SH mengeluarkan pernyataan tegas bahwa Disaster Accountability Monitoring (DAM) tak segan-segan akan membuka aib pihak yang menyelewengkan dana bencana baik pemerintah pusat maupun daerah, lembaga media yang menggalang dana bencana serta LSM nakal yang malakukan korupsi dana bencana. DAM ada dalam posisi netral untuk membantu dan mengawasi lembaga-lembaga agar tak melakukan korupsi, sambung Budiyanto, SH.

Lebih lanjut Budiyanto SH menyatakan DAM merencanakan akan membuat aksi damai serta diskusi publik untuk mengkampanyekan anti korupsi dana bencana, DAM mengajak masyarakat mengontrol dana bencana yang disumbangkannya dengan terus mengawasi lembaga yang disumbang. Mantan Presiden BEM UGM dan Koordinator BEM se-Indonesia ini menyatakan DAM juga akan menindaklanjuti laporan atau dugaan korupsi dana bencana dari masyarakat. Selanjutnya laporan ini akan diolah dan ditingkatkan ke tahap penelitian sehingga datanya lebih jelas sehingga kemudian dapat disampaikan ke pihak berwajib.

Budiyanto SH, tokoh muda lulusan UGM ini mengajak seluruh koponen masyarakat untuk kritis dan ikut mengawasi dana bencana. Korupsi bencana tidak saja melukai perasaan korban bencana, namun merupakan kejahatan keji dan pantas dihukum berat.

AKUNTABILITAS DANA BANTUAN BENCANA


Negeri (rawan) bencana, memang pantas disematkan untuk negara kita. Berdasarkan data dari BNPB dalam kurun waktu 1997-2008 telah terjadi 1.994 kejadian banjir, 633 kali tanah longsor, 106 kali gempa bumi, 573 kali angin topan, dan 52 kali letusan gunung berapi. Angka-angka tersebut belum termasuk bencana yang diakibatkan oleh human error seperti kebakaran pemukiman, kebakaran hutan, kegagalan teknologi, terror dan sabotase. Selama satu dasawarsa ini pula tercatat jumlah korban jiwa yang telah terenggut sebanyak 149.311 orang, dan total kerugian materi mencapai 54,8 trilyun.

Namun dibalik angka-angka tersebut ada satu hal lagi yang cukup fenomenal dimana kita bisa menyaksikan betapa pemurah dan dermawannya bangsa ini terhadap sesamanya. Berawal dari bencana tsunami di Aceh, hampir semua komponen masyarakat secara intensif dan massif menunjukkan kepeduliannya. Besarnya skala bencana dan dampak yang ditimbulkan ditambah dengan liputan media yang luar biasa menggugah mata dunia untuk berpartisipasi. Penggalangan dana bencana telah menjadi kegiatan baru di negeri ini baik yang sifatnya spontanitas temporary maupun yang rutin sebagai fundraising lembaga

Jika dipetakan, maka setidaknya ada empat pelaku yang terlibat dalam penggalangan dana bencana di Indonesia. Yang pertama adalah lembaga kemanusiaan yang memang secara core competence nya bergerak di bidang penggalangan dana sosial. Dalam hal ini beberapa lembaga pengelola zakat bisa dikelompokkan dalam genre ini. Kedua adalah media baik cetak maupun elektronik yang semenjak bencana tsunami aceh rame-rame ikut menggalang dana masyarakat . Pihak lain yang juga terlibat dalam penggalangan dana masyarakat adalah perusahaan-perusahaan swasta. Mereka biasanya berpromosi hanya di internal karyawan perusahaannya untuk terlibat berdonasi terhadap korban bencana. Diluar tiga pihak yang telah disebutkan diatas masih ada lagi aktor-aktor pelaku penggalangan dana masyarakat seperti partai politik, masjid, dan majelis ta’lim.

Data PIRAC menunjukkan bahwa total dana terhimpun oleh sejumlah media elektronik maupun cetak untuk sumbangan gempa sumbar per tanggal 13 oktober telah mencapai 67 Milyar lebih. Sedangkan perolehan donasi gempa sumbar yang masuk melalui beberapa lembaga pengelola ZIS telah mencapai 20 Milyar lebih pada tanggal yang sama.
Memang Jika dibandingkan dengan hasil penggalangan dana untuk tsunami aceh yang mencapai 465,95 milyar (diluar dana-dana pemerintah) angka tersebut masih jauh dibawahnya. Namun rentang waktu dua minggu dalam penggalangan dana tersebut menunjukkan betapa efektifnya penggalangan dana publik terutama yang dilakukan oleh media elektronik.

Berbeda dengan lembaga kemanusiaan, media memiliki kekuatan yang lebih dalam penggalangan dana bencana disebabkan coverage nya terhadap masyarakat serta liputan pemberitaan bencana yang bisa menggugah langsung kepedulian jutaan pemirsanya. TV one misalnya sebagai stasiun televisi relatif baru berhasil menjadi yang terdepan dalam pengumpulan sumbangan untuk gempa sumbar ini. Sampai dengan tanggal 16 oktober donasi yang dikumpulkan telah mencapai 36 Milyar mengungguli MetroTV. Suatu angka yang tampaknya susah dicapai oleh lembaga-lembaga kemanusiaan yang sehari-hari bergerak di bidang penggalangan dana sosial apalagi LSM-LSM lokal yang terjun langsung dalam tanggap darurat bencana .

Kunci sukses penggalangan dana media terletak pada penyajian berita secara up to date tentang bencana langsung dari tempat kejadian, sehingga pemirsa seolah diajak ikut serta merasakan penderitaan para korban. Rasa sedih kehilangan sanak keluarga, harta benda, dan bahkan sampai eksploitasi berlebihan terhadap kondisi korban berhasil dikomunikasikan dalam kemasan yang apik dan membuat siapapun yang melihatnya tergugah hingga muncul empati. Disinilah media kemudian menangkap peluang kepiluan kolektif tersebut menjadi program-program bertajuk peduli, pundi, dan kemanusiaan.

Sayangnya, gegap gempita dalam penggalangan dana masyarakat oleh berbagai pihak tersebut belum diikuti di sisi pertanggung jawabannya kepada publik. Salah satu faktor utamanya adalah karena sifat bencana itu sendiri yang merupakan kondisi extraordinary, sehingga seringkali program yang digulirkan berjalan diluar standar operasional prosedur yang ada dalam kondisi normal. Kondisi ini dialami oleh beberapa pemda yang daerahnya terkena bencana. Mereka kesulitan menyalurkan dana ke masyarakat secara cepat dengan mengikuti alur pakem yang ada seperti misalnya bukti penerimaan, dll. Tentu masalah-masalah administratif agak susah dijalankan secara optimal dalam kondisi tanggap darurat.

Namun kondisi tersebut tidak kemudian menghilangkan kewajiban lembaga-lembaga yang terlibat dalam penggalangan dana masyarakat tersebut memberikan pertanggung jawaban ke publik. Proses “serah terima” dari masyarakat kepada pihak yang dititipi amanah tersebut tidak lantas selesai seusai nama mereka tercantum dalam lembaran koran atau running text di televisi. Setidaknya ada empat proses akuntabilitas yang harus dilakukan oleh lembaga-lembaga yang terlibat dalam penggalangan dana di masyarakat. Proses pertama dimulai dari alur penerimaan dana tersebut. Disini semua dana harus jelas aliran penerimaannya dari siapa dan berapa jumlahnya. Selain itu lembaga harus memastikan juga secara transparan bahwa publik bisa mengakses data-data tersebut untuk memastikan sumbangannya telah diterima dan sesuai jumlahnya. Untuk proses ini rasa-rasanya hampir sebagian besar lembaga penggalang dana masyarakat telah melakukannya dengan baik.

Selanjutnya ukuran yang kedua untuk menguji akuntabilitas sebuah lembaga adalah dari sisi penyaluran dana bantuan tersebut. Disini lembaga penggalang dana ditutuntut untuk melaporkan kepada publik. Pelaporan tidak hanya direduksi sebatas laporan pengeluaran dana semata tapi juga kegiatan yang sudah dan yang akan dilakukan, apa saja program yang digulirkan lembaga dalam peridode tanggap darurat, rekonstruksi dan recovery dan di daerah mana saja program tersebut dijalankan serta yang tak kalah pentingnya berapa perkiraan jumlah penerima manfaatnya. Tidak hanya itu, sebaiknya masyarakat juga bisa mengetahui berapa persen bantuan yang disalurkan langsung untuk penerima manfaat dan berapa alokasi untuk operasional (overhead). Hal ini penting diketahui untuk mengukur seberapa efektif dan efisien lembaga tersebut berkiprah. Semua proses ini bisa dilakukan melalui penyajian informasi kepada publik serta diuji validasinya melalui pernyatan hasil audit oleh akuntan publik.

Jika ditinjau secara konvensional dua proses tersebut rasa-rasanya sudah mencukupi untuk mengukur transparansi dan akuntabilitas lembaga yang menggalang dana bantuan bencana. Dua hal tersebut sebenarnya baru standar minimal dimana beberapa lembaga sudah melakukannya. Namun dalam konteks dana bencana seharusnya perlu ditingkatkan derajat akuntabilitas nya pada dua tataran lagi. Yang pertama adalah pelibatan perwakilan donatur dalam memutuskan program apa yang akan digulirkan. Sebab selama ini lembaga penerima lebih sering secara sepihak memutuskan program-program yang paling pantas digulirkan tanpa keterlibatan elemen donatur. Ukurannya jelas, yaitu kepuasan donatur atas kinerja dan program-program yang digulirkan oleh lembaga tersebut di daerah bencana yang jarang sekali diukur baik oleh lembaga itu sendiri maupun pihak ketiga.

Namun disisi ini muncul problem , dimana karakter donatur di Indonesia yang tidak kritis menyebabkan tuntutan pemenuhan pertanggungjawaban publik tersebut juga sulit tercapai. Ketidakritisan atau lebih tepatnya kepercayaan penuh di sisi donatur bisa dilihat dari masih besarnya penyumbang yang tidak mencantumkan nama ketika memberikannya. Dengan alasan teologis mereka seringkali memakai anonim atau sebutan hamba Allah. Sehingga kita bisa melihat deretan banyaknya hamba Allah dalam daftar penyumbang. Memang tidak ada salahnya, namun alangkah baiknya jika dua hal ini bisa dijembatani agar tidak menafikan kewajiban lembaga dalam mengakomodasi partisipasi para pemangku kepentingan. Harus dijelaskan juga kepada masyarakat bahwa urusan keikhlasan janganlah menimbulkan kesulitan bagi pihak lain untuk membangun sistem yang transparan dan akuntabel. Tak salah ada yang berseloroh, bahwa rentetan bencana ini memunculkan banyak sekali “malaikat-malaikat” baik hati di negeri ini, namun jangan sampai pula kemunculannya justru diikuti oleh terbukanya pintu-pintu manipulasi di sisi sebaliknya yang tergoda memanfaatkan kebaikan tersebut.

Yang kedua adalah dari sisi penerima manfaat (beneficiaries) atau korban bencana. Di sisi ini lembaga perlu membuat kajian yang mendalam atas dampak bantuan yang telah disalurkan. Kaji dampak ini bisa dilakukan secara reguler dan dilinformasikan kepada publik.

Untuk lebih meningkatkan akuntabilitas dana bantuan bencana kiranya tidak berlebihan apabila dibutuhkan pihak ketiga yang bisa membantu memastikan kualitas akuntabilitas tersebut. Tujuannya adalah untuk melindungi donatur dan penerima manfaat dalam hal ini korban bencana agar hak-haknya terpenuhi. Tidak salah rasanya jika pemerintah pusat membentuk sebuah lembaga khusus yang berperan sebagai regulator dan pengawas untuk memastikan bahwa dana-dana bantuan tersebut terdistribusikan dengan baik dan tepat sasaran. Sebagai regulator pemerintah bisa saja memberikan sangsi terhadap lembaga yang dinilai tidak kredibel dalam mengelola dana-dana tersebut. Tapi harus juga dipastikan komitmen dan konsistensinya ketika peran regulator tersebut diambil maka pemerintah juga harus rela untuk tidak terjun langsung dalam penggalangan dana bantuan masyarakat. Karena tidak mungkin wasit memberikan kartu merah pada dirinya sendiri.

Selanjutnya, dari sisi civil society juga diperlukan lembaga pemeringkat independen yang bertugas menyusun peringkat kredibilitas lembaga-lembaga penggalang dana bantuan bencana masyarakat. Lembaga ini nantinya akan menjadi rujukan donatur dalam menyalurkan bantuannya. Sebagaimana fungsi lembaga rating atas beberapa instrument investasi, dia hanya sekedar memberi informasi kepada masyarakat luas dan menunjukkan bahwa mana-mana lembaga yang kredibel dan mana yang kurang terpercaya berdasarkan metodologi yang akurat.

Ditulis oleh

M. Sabeth Abilawa

Budiyanto, SH : DAM Pantau Korupsi Dana Bencana

Budiyanto, Koordinator Disaster Accountability Monitoring (DAM) memastikan akan menurunkan timnya utk mengawasi penyaluran dana bencana di wilayah-wilayah yg terkena bencana seperti Jogja, Wasior dan Mentawai. Pemantauan akan dilakukan atas program penanganan bencana oleh pemerintah pusat maupun daerah, Media yang mengumpulkan dana dan LSM nakal.

DAM adalah kelompok masyarakat yang mengkhususkan aksinya pada pemantauan dana bencana. Budianto, SH yang alumni Fak Hukum UGM memimpin kelompok ini karena didasari oleh merebaknya isu korupsi dana bencana disetiap bencana di Indonesia. Setiap penanaganan bencana menyisakan kejabat publik yang dipenjara karena korupsi bencana.

Tokoh muda yang pernah menjadi Koordinator BEM Seluruh Indonesia ini menyatakan bahwa DAM didukung oleh sejumlah pemerhati dan relawan anti korupsi dari berbagai daerah di Indonesia. Budiyanto juga menegaskan pihaknya tak segan=segan membuka data korupsi dari pemerintah pusat dan daerah serta perusahaan media jika terbukti nelakukan penyelewengan dana bencana.

Kampanye Anti Korupsi Dana Bencana

Ratusan masyarakat dibawah koordinasi Disaster Accountability Monitoring (DAM) Kamis, 9 Desember 2010 pagi pukul 06.30 akan mengadakan demo anti korupsi dana bencana. kegiatan yang akan dilaksanakan di BUndaran HI Jakarta ini akan didukung oleh ratusan pendukung dan masyarakat anti korupsi dari berbagai daerah, termasuk warga Jogja yang terkena bencana.

Kegiatan yang dipimpin oleh Budiyanto SH selaku koordinator DAM akan menyampaikan aspirasi kepada pemerintah, lembaga-lembaga penerima bantuan bencana dan masyarakat agar berhati-hati dalam pelaksanaan program kebencanaan karena akan diawasi dan dimonitoring oleh DAM.

DAM selanjutnya akan menggelar sejumlah pengawasan dan penelitian atas penggunaan dana bencana di JOgja dan beberapa tempat di indonesia. DAM juga menyelenggarakan diskusi publik yang akan menghadirkan pera tokoh anti korupsi. Diskusi ini dilaksanakan pekan depan bertempat di Jakarta dan Jogjakarta.

Bencana Korupsi Dan Kemiskinan

Bencana Korupsi Dan Kemiskinan

Sejak bergulirnya reformasi di Indonesia selama 10 tahun, belum tampak arah dari perubahan menuju keadaan yang lebih baik. Salah satu penyebabnya adalah korupsi yang marak dilakukan kalangan legislatif, eksekutif, penegak hukum, dan birokrasi mulai dari pusat hingga daerah.

Tipologi korupsi

Definisi yang paling populer dan sederhana mengenai korupsi adalah definisi yang digunakan Bank Dunia yakni penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan yang dimiliki birokrasi pemerintah untuk kepentingan pribadi. Dari definisi ini, bukan berarti korupsi tidak ada dalam aktivitas sektor swasta (contohnya, dalam hal perolehan input dan bahkan dalam proses perekrutan personel). Korupsi juga hadir dalam aktivitas-aktivitas bisnis/usaha yang diregulasi pemerintah. Penyalahgunaan wewenang yang dilakukan aparatur pemerintah tidak selalu untuk kepentingan pribadi, tetapi juga kerap terjadi untuk kepentingan kelompok, keluarga, suku dan lain-lain.

Jika dilihat dari tipologinya, ada dua tipe tindak korupsi yang biasanya terjadi di birokrasi pemerintahan yakni korupsi yang kasatmata dan korupsi yang tersembunyi. Korupsi tipe pertama yakni korupsi yang skalanya dan signifikansinya kecil, misalnya pungutan liar yang dilakukan aparat pemerintah dengan alasan untuk mencari tambahan pendapatan. Sedangkan korupsi tersembunyi, skala dan signifikansinya sudah sistemik dan besar.

Tindak korupsi yang sistemik ini sudah masuk sangat jauh dan berpotensi merusak operasionalisasi negara. Korupsi jenis ini memainkan peran penting akan penguasaan segelintir elite atas negara saat proses formulasi kebijakan dibuat hanya untuk menguntungkan segelintir elite tertentu. Adanya tindak korupsi dalam konteks ini sering merupakan suatu manifestasi dari kurangnya penghormatan terhadap aturan main atau hukum yang mengatur hubungan interaksi baik oleh si pelaku tindak korupsi (masyarakat, swasta, dan aparat pemerintah) dengan oknum/institusi yang dikorupsi (oknum pemerintah yang menerima suap dan melakukan penyelewengan dan pejabat pemegang kekuasaan resmi di institusi tersebut).



Korupsi dan kemiskinan

Studi yang dilakukan Mauro (1995) dan Burki dan Perry (1998) mengungkapkan bahwa korupsi akan mengurangi dan menghambat pertumbuhan ekonomi karena menurunnya investasi yang dilakukan sektor swasta. Sementara itu, Kaufman et al (1999) menemukan pula bahwa korupsi menyebabkan terbatasnya dan turunnya manfaat pembangunan sebagaimana terlihat dari ukuran pendapatan per kapita, kematian bayi, dan tingkat melek huruf.

Korupsi dapat memengaruhi ketimpangan pendapatan dan kemiskinan melalui berbagai saluran termasuk pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Korupsi juga berdampak pada ketimpangan?ketimpangan dalam hal kepemilikan aset, pembentukan human capital, pendidikan serta ketidakpastian dalam akumulasi faktor produksi.

Tingkat korupsi yang tinggi dapat menyebabkan kemiskinan setidaknya untuk dua alasan. Pertama, bukti empiris menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi berkaitan dengan tingkat pengurangan kemiskinan yang tinggi pula (Ravallion dan Chen, 1997). Oleh karena itu, korupsi akan memperlambat laju pengurangan kemiskinan karena korupsi akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Kedua, ketimpangan pendapatan akan berefek buruk terhadap pertumbuhan ekonomi (Alesina dan Rodrik 1994; Persson dan Tabellini, 1994). Korupsi juga dapat menyebabkan penghindaran terhadap pajak, administrasi pajak yang lemah, dan pemberian privilese yang cenderung berlebih terhadap kelompok masyarakat makmur yang memiliki akses kepada kekuasaan. Korupsi juga dapat memengaruhi sasaran program?program sosial kepada masyarakat yang benar?benar membutuhkan.

Jika menilik langkah KPK akhir?akhir ini yang mulai intensif dalam memburu para koruptor, upaya ini layak diacungi jempol. Tetapi yang lebih terpenting lagi adalah penegakan hukum yang optimal. Perlu juga disadari bersama bahwa korupsi merupakan bencana nasional yang perlu sesegera mungkin ditanggulangi.

Oleh Teddy Lesmana, Peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi LIPI

Sumber: Media Indonesia Online
http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=MjExNjQ=

Selewengkan Dana Bencana Dihukum Mati


KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) memantau peggunaan dana bantuan bencana alam. Oleh karena itu KPK mengingatkan kepada seluruh instansi yang terlibat dalam penanggulangan bencana untuk menjalankaan petunjuk pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pada masa rehabilitasi.

KPK pada pasca-tanggap darurat akan memberlakukan tindak pidana korupsi bagi pihak yang mengadakan penyediaan barang dan jasa tanpa melalui proses tender. Kalau nanti ada pihak terlibat tindak pidana korupsi maka hukumannya tidak ringan yaitu hukuman mati.

Demikian dikatakan Wakil Ketua KPK Chandra M Hamzah usai suatu acara di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan, Selasa (9/11) menyikapi penggunaan dana penanggulangan bencana di Indonesia.

"Setelah masuk tahap rehabilitasi, pengadaan barang dan jasa harus melalui tender. Pihaknya bisa saja meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada pasca rehabilitasi untuk mengaudit seluruh pengadaan barang dan jasa bantuan," kata Chandra. (Adi Kurniawan)